Efek Rumah Kaca (ERK) -- Tahun 2015 adalah tahun kesepuluh perjalanan Cholil Mahmud (vokal, gitar), Adrian Yunan Faisal (bass, vokal latar), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar) sebagai unit musik bernama Efek Rumah Kaca. Banyak peristiwa terjadi pada dasawarsa pertama mereka ini, dua album penuh yang dirilis pada dua tahun berturutan, 2007 (Selftitled) dan 2008 (Kamar Gelap), sampai lagu-lagu yang menjadi nyanyi bersama pada panggung-panggung yang terjelajahi di penjuru Indonesia. Tapi diantara semua peristiwa, ada pula getir cerita pada kondisi Adrian yang memaksanya absen pada penampilan live Efek Rumah Kaca. Satu hal yang bisa merangkum perjalanan mereka adalah eksperimentasi yang menjadi inti dari setiap karya. Kekayaan Bahasa Indonesia, dan pemilihan tema adalah area yang telah mereka jelajahi.
Setelah vakum selama hampir satu setengah tahun sehubungan dengan kepergian Cholil ke luar negeri untuk menuntut ilmu, Efek Rumah Kaca menandai kembalinya eksistensinya dengan single “Biru”. Dan seperti yang biasa mereka lakukan, eksperimentasi menjadi kunci di karya ini. Kali ini, musik menjadi fokus utama eksperimentasi. Aransemen dibuat lebih kaya dengan layer-layer gitar yang lebih membahana, dinamika sekaligus struktur lagu juga menjadi semakin berwarna seiring durasi lagu yang juga menyentuh angka hampir sepuluh menit.
Sejatinya, “Biru” bukanlah materi yang sepenuhnya baru. Dasar-dasar lagu ini telah terbentuk sejak era album pertama. Ide dasarnya adalah elaborasi lebih lanjut dari lagu “Cinta Melulu”, tentang kegelisahan Efek Rumah kaca terhadap proses berkarya sebuah karya seni dengan posisinya di pasar/industri. Jika “Cinta Melulu” menyampaikan pesannya dalam nada yang cenderung sinikal, pada “Biru” Efek Rumah Kaca memilih perspektif yang lebih optimis. Bahwa selalu ada cara untuk berkarya dengan jujur.
“Seiring dengan waktu, kita sudah tidak sekeras dulu. Masih ada api itu tapi kami ingin lebih kalem. Kita ingin lebih tenang dalam meneriakkan sesuatu. Banyak lirik yang akhirnya diganti karena kami merasa sudah tidak sesuai lagi. Yang jelas, ‘Biru’ dibuat untuk kami sendiri, tidak ada rencana untuk mebuat manifesto atau apapun itu. Ini hanya cermin kegelisahan kami”, ujar Cholil.
Ada dua fragmen yang tergabung dalam lagu “Biru”. Fragmen pertama ada pada paruh awal lagu yang juga menjadi versi pendek lagu untuk versi radio edit dengan judul “Pasar Bisa Diciptakan”. Fragmen kedua dengan judul “Cipta Bisa Dipasarkan” berada pada sisa durasi lagu. Secara terpisah, fragmen-fragmen tersebut masing-masing mewakili dua angle dalam proses penciptaan karya dalam kesenian, yakni secara internal dan eksternal. Keduanya membentuk secara utuh, “Biru” sebagai rangkuman pemikiran Efek Rumah Kaca tentang pentingnya eksplorasi dalam proses berkarya.
“Biru” juga menandai arah musikal dari Efek Rumah Kaca untuk album penuh ketiga mereka yang masih sedang dalam proses pengerjaan. Meskipun bukan gambaran yang sepenuhnya akurat untuk menggambarkan konsep album ke depan secara keseluruhan, elemen-elemen utama seperti durasi lagu yang panjang, instrumentasi yang lebih riuh, juga dinamika lagu yang cenderung lebih kompleks dibanding lagu-lagu dalam diskografi awal bisa menjadi gambaran kasar sekaligus bridging kepada konsep album Efek Rumah Kaca yang akan datang.
Dipilihnya judul “Biru” juga menjadi tanda bagi keseluruhan album tiga yang rencananya akan berjudul “Sinestesia”. Sesuai dengan definisi term sinestesia yang menjelaskan fenomena dimana sistem saraf menghubungkan dua indra yang tak berhubungan secara langsung, Adrian dipilih untuk mendeskripsikan “suasana” dari setiap lagu dari album mendatang dalam warna lagu. Dan, “Biru” adalah warna yang muncul di kepala ketika 9 menit lagu ini selesai diputar. Di lagu ini, seperti pada album nantinya, melibatkan beberapa musisi yang terlibat dalam unit alter-ego Efek Rumah Kaca, Pandai Besi. M. Asranur, Agustinus Mahardika dan Irma Hidayana berturutan mengisi piano, instrumen tiup dan vokal.
Test Komentar
ReplyDeleteBalas Komentar
Delete